You must have JavaScript enabled in order to use this theme. Please enable JavaScript and then reload this page in order to continue.
Loading...
Logo Desa Makam
Makam

Kec. Rembang, Kab. Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah

WEBSITE DESA MAKAM BARU PEMERINTAH DESA MAKAM

Sejarah Desa Makam

Magang Dinkominfo 26 Agustus 2016 Dibaca 70 Kali
Sejarah Desa Makam

Sejarah Singkat Sebelum Menjadi Desa

Desa Perdikan adalah desa yang sistem pemerintahannya feodal. Artinya penguasaan atas tanah mutlak dipegang oleh penguasa perdikan yang disebut demang.

 

Adapun Demang-demang yang ada di Wilayah Perdikan Makam antara lain :

  • Makam Wadas

    • Makam (sebagian)

    • Kebon (sebagian)

    • Pagelaran (seluruh)

  • Makam Tengah

    • Makam (sebagian)

    • Kebon (sebagian)

    • Batur (seluruh)

    • Tepus Kesesi (setengah)

  • Makam Bantal

    • Makam (sebagian)

    • Kebon (sebagian)

    • Tepus Kesesi (setengah)

    • Panusupan (sebagian)

  • Makam Jurang

    • Makam (sebagian)

    • Kebon (sebagian)

    • Tepus Duwur (bagian utara)

    • Gohong (seluruh)

  • Makam Kidul

    • Makam (sebagian)

    • Kebon (sebagian)

    • Tepus Duwur (bagian selatan)

    • Karanggedang (sebagian)

    • Candi (sebagian)

    • Tipar (sebagian)

    • Kedempel (sebagian)

  • Makam Kamal

    • Makam (sebagian)

    • Kebon (sebagian)

    • Tepus Tengah (sebagian)

  • Makam Dhuwur

    • Makam (sebagian)

    • Kebon (sebagian)

    • Tepus Tengah (sebagian)

    • Panusupan (sebagian)

  • Makam Panjang

    • Tersebar di semua wilayah

    • Dipimpin oleh Demang Pancasan

 

Adapun nama-nama demang yang berhasil didaulat oleh rakyat adalah sebagai berikut.

Ki Nurngali III,           Demang Makam Dhuwur,

Ki Imam Suroyo,       Demang Makam Tengah,

Ki Kertawijaya,          Demang Makam Kidul,

Ki Reksadimedja,      Demang Makam Bantal,

Ki Wirasukarta,          Demang Makam Kamal,

Ki Patradjaja,             Demang Makam Jurang,

Ki Wirasemita,           Demang Makam Panjang.

 

Pada tanggal 4 September 1946, pemerintah RI mengeluarkan Undang-undang (UU) nomor 13 tahun 1946 yang berisi tentang penghapusan desa-desa perdikan. UU tersebut berlaku surut sejak tanggal 17 Agustus 1945. Pada tanggal 25 Oktober 1946 Menteri Dalam Negeri mengeluarkan peraturan No. B/P.13/I/7 yang salah satu isi pokoknya yaitu mulai tanggal 19 Desember 1945 desa-desa perdikan tidak diakui lagi dan diubah menjadi desa-desa biasa (pemajengan).

Pada tanggal 23 Februari 1953 Menteri Dalam Negeri Moh. Roem mengeluarkan Permendagri No. 6/1953. Perbedaannya dengan Permendagri lama, pada Permendagri baru menyebut bahwa Residen Banyumas diberi tenggang waktu untuk melakukan perubahan bentuk desa selama 10 tahun, yang bila perlu dapat diperpanjang. Bentuk ganti rugi bagi para demang tidak berupa tanah tetapi berupa uang sebesar 10 kali hasil bersih dalam satu tahun berdasar harga pada tahun 1940, kemudian digandakan 3 sesuai dengan perbandingan nilai rupiah pada tahun 1953 dan sebelum perang.

Pelaksanaan Permendagri No. 6/1953 itu pun tidak berhasil dilaksanakan untuk menghapus desa-desa perdikan termasuk di Perdikan Makam. Pada 8 September 1954 Menteri Dalam Negeri yang baru Prof. Mr. Dr. Hazairin mengeluarkan Permendagri Nomor 9/1954 yang isi pokoknya sama dengan Permendagri sebelumnya yaitu menghapus desa-desa perdikan, hanya perbedaannya Permendagri No. 9/1954 lebih menegaskan pada penghapusan hak-hak istimewa demang atas tanah jabatannya, dan dikembalikan sepenuhnya kepada desa.

Daftar Besarnya Tunjangan yang Diterima oleh Para Bekas Demang di Wilayah Makam

  • Demang Makam Wadas: Rp45.819,00

  • Demang Makam Kamal: Rp62.429,40

  • Demang Makam Dhuwur: Rp46.301,40

  • Demang Makam Bantal: Rp66.281,40

  • Demang Makam Jurang: Rp67.433,40

  • Demang Makam Tengah: Rp60.413,40

  • Demang Makam Panjang: Rp26.305,20

 

Awal Ditetapkan Menjadi Desa

Dengan turunnya Permendagri no. 9/1954, maka seluruh wilayah desa Perdikan di Karesidenan Banyumas secara bertahap mulai berganti statusnya menjadi desa pemajengan (desa biasa). Khusus untuk 8 kademangan di wilayah Makam sendiri baru berubah statusnya pada tahun 1959 dikarenakan dari 8 kademangan yang ada kemudian digabungkan atau dilebur menjadi dua desa baru, yakni Desa Makam dan Desa Panusupan. Peleburan ini dilakukan dengan maksud untuk mempermudah administrasi dan efisiensi wilayah, peleburan tersebut diistilahkan kepokan.

maka pada tanggal 21 Januari 1960 Residen Banyumas mengeluarkan surat keputusan pemberhentian para pamong di 8 kademangan Makam. Untuk mengisi kekosongan pemerintahan di kedua desa hasil integrasi 8 kademangan Makam, maka pada tanggal 26 Januari 1960 diselenggarakan pemilihan kepala desa (pilkades) Makam. Sedangkan pilkades di Desa Panusupan dilaksanakan pada tanggal 27 Januari 1960.

Di Makam sendiri, ada dua calon kepala desa yang ikut meramaikan pilkades, yakni Sutedjo Wirasemita (mantan demang Makam Panjang) dan Sutono. Masing-masing calon memiliki basis massa yang kuat. Pelaksanaan pilkades di Makam berlangsung di halaman pendapa Makam Tengah. Sutedjo Wirasemita menggunakan lambang daun Glagah dan Sutono menggunakan lambang Janur Kuning. Sistem pemilihan menggunakan sistem bitingan, yakni tiap warga yang memiliki hak pilih diberi satu biting (batang daun janur) dan disuruh memasukkan biting itu ke dalam bumbung (batang bambu) yang sudah disediakan di bilik suara. Masing-masing calon diberi bumbung yang sudah ditandai menurut lambangnya.

pada akhir pemilihan Sutono berhasil mengantongi biting yang lebih banyak daripada Sutedjo. Sutono akhirnya berhak menduduki jabatan Kepala Desa Makam. Sementara itu Pilkades di Desa Panusupan berjalan lebih demokratis, karena rakyat Panusupan cenderung taat dan tidak terjadi kericuhan. Pilkades di Desa Panusupan akhirnya dimenangkan oleh Sutrisno.